Jangan
tanyakan padaku soal sepakbola. Kenapa? Karena aku adalah penggila bola kelas
kakap. Aku sanggup melayani lawan bicaraku berjam-jam lamanya kalau sudah membahas soal sepakbola.
Klub favoritku sampai sekarang adalah PSMS Medan. Iya, klub lokal. Sempat juga
bergabung dengan komunitas suporter PSMS Fans Club (PFC) dan bernyanyi bersama
mereka di tribun utara Stadion Teladan, Medan. Kalau kalian nonton pertandingan
sepakbola di Indonesia, kalian lihat di stadion, bagian tribun terbuka, ada
sekumpulan orang dengan pakaian yang warnanya sama, nyanyi, joget-joget, aku
juga pernah seperti mereka.
Kondisi PSMS
yang sembrawut beberapa tahun kebelakang, sempat membuat aku menuliskan
unek-unek terhadap klub ini. Diperparah lagi ketika mengetahui bahwa Persipura
Jayapura sudah bisa sampai di semifinal AFC Cup, waah, ada perasaan bangga
sebagai orang Indonesia tentunya. Namun di satu sisi, “hei! Mereka pernah
dikalahkan PSMS pada tahun 2007!”.
Tulisan itu
sebenarnya sudah lama aku simpan, namun baru sekarang saja teringat untuk diposting.
Mungkin yang kurang kerjaan mau baca tulisanku tentang PSMS, bisa meluncur ke sini: http://muhammadirsyadd.blogspot.com/2015/06/latepost-tentang-psms.html
Tapi kalau
dipikir-pikir lagi, berkeluh kesah tentang terpuruknya sebuah klub
lokal di Indonesia sudah tidak ada gunanya. Sekarang bukan klub asal daerah
kita saja yang terpuruk, jauh lebih luas lagi, yaitu sepakbola di negara ini
sendiri..
Toh, dari dulu
hingga sekarang, sepakbola di negeri ini emang nggak pernah ada beresnya.
Banyak pihak yang ingin berkuasa. Mungkin banyak keuntungan yang bisa dikerok
karena sepakbola merupakan olahraga paling banyak diminati orang-orang
Indonesia. Akhirnya, semua penuh dengan konflik. Melebihi konflik rumah tangga
para artis di acara gosip di televisi. Konflik antara PSSI dengan pihak-pihak di
luar PSSI, konflik antara PSSI dengan PSSI sendiri (waktu heboh-hebohnya
dualisme), hingga yang terbaru konflik antara PSSI dengan Kemenpora yang kita
tahu berada di bawah pemerintah.
Sorry, aku
nggak mau berkoak-koak demi membenarkan atau mendukung salah satu pihak,
seperti yang mereka debatkan di televisi itu. Aku pikir nggak ada gunanya sama
sekali stasiun-stasiun televisi itu bersusah payah mengundang masing-masing
pihak bila isinya cuma berdebat aku yang
benar, kau yang salah. Nggak akan selesai-selesai.
Terlepas dari
bobroknya PSSI mengelola sepakbola di Indonesia selama ini, nihil prestasi dan
sebagainya, kita juga tidak bisa mendukung begitu saja langkah Menpora
membekukan PSSI, sampai-sampai FIFA menjatuhkan sanksi karena konflik tersebut.
Artinya, sudah di dalam negeri di bekukan, dikancah Internasional pun dialarang
tampil. Inti dari artinya adalah, aktivitas sepakbola profesional di negeri ini
berhenti total. Kalian mendukung kondisi ini?
Ayolah, kita
harus lihat dampaknya. Banyak orang yang akan kehilangan pekerjaan, terutama
mereka-mereka yang mencari makan melalui sepakbola. Kita harus membuka mata,
bahwa bukan hanya pesepakbola lah yang kehilangan pekerjaan. Ketika berbicara
sebuah tim, maka disitu ada para pemain, para pelatih, hingga official yang terdiri dari tim medis
sampai yang tugasnya hanyalah menyiapkan sepatu atau minum para pemain. Berapa
jumlah mereka bila ditotalkan dalam satu tim? 35 orang? 40 orang? Berapapun
itu, mereka semua kehilangan mata pencaharian mereka.
Lebih luas
lagi, berapa banyak orang yang ikut terlibat dalam satu pertandingan sepak bola
resmi di Indonesia? Jika kita katakan sebuah tim berisi 35 orang, karena ada
dua tim yang bertanding maka totalnya adalah 70 orang. Belum lagi 4 orang wasit
yang terdiri dari wasit, asisten wasit 1 dan 2, dan wasit cadangan. Lalu ada
panpel pertandingan yang bertanggung jawab atas pertandingan tersebut, juga
termasuk didalamnya adalah yang bertugas menjual tiket dan sebagainya. Belum
lagi para tukang parkir disekitar stadion, para pedagang minuman, penjual
aksesoris untuk suporter, ataupun polisi-polisi yang mendapat job tambahan yang
tugasnya mengamankan jalannya pertandingan. Berapa jumlah mereka? Ratusan orang
kehilangan pekerjaan dalam satu buah pertandingan. Lalu berapa banyak
pertandingan dalam semusim pada sebuah liga? Hitung ada berapa liga yang ada di
Indonesia, mulai dari ISL hingga divisi-divisi dibawahnya, berapa jumlah tim yang
berpertisipasi dalam sebuah liga, dan berapa total pertandingan yang akan
gelar, dan tinggal kalian kalikan saja semuanya. Aku sendiri tidak bisa
memberikan data dan perhitungan yang pasti karena aku sedang tidak dalam sebuah
studi kasus ataupun sebuah penelitian. Yang pasti, akan sangat banyak orang yang kehilangan pekerjaannya.
Saat ini para
pemain sepakbola sedang memutar otak untuk menafkahi keluarga mereka. Bingung
mencari pekerjaan apa lagi dengan keahlian satu-satunya adalah menendang bola,
belum lagi para tukang parkir, penjual tiket, para pedagang yang biasa
berjualan disekitar stadion pada saat ada pertandingan, mereka juga kehilangan
pemasukan.
Selain itu kita
juga punya banyak generasi-generasi muda dengan bakat luar biasa. Kita punya
Evan Dimas, Paolo Sitanggang, Muchlis dkk yang menjadi modal berharga untuk
mengisi skuad Timnas nanti. Mau dikemanakan bakat mereka?
Besok-besok,
tak ada satupun orang tua di negeri ini yang mendukung anaknya untuk menjadi
pemain sepakbola.
Apakah bapak-bapak yang "makan bola" ini tidak memikirkan akibat seperti ini? Padahal di sana ada pihak dari organisasi yang harus memastikan bahwa
sepakbola Indonesia bisa berjalan dengan benar, dan ada pihak dari pemerintah
yang kalau kita kembalikan tugasnya adalah memastikan perekonomian berjalan
dengan baik. Bukan sebaliknya yang justru menambah suram potret sepakbola di
negeri ini ataupun menciptakan pengangguran-pengangguran baru yang sebenarnya
sudah berserakan di mana-mana.