Nanti menoleh ke arah Kosasih. Dia cukup senang karena pacarnya
sudah melakukan tugasnya dengan baik.
Nanti melanjutkan kisahnya. “Dulu, ketika umurku empat tahun, Ibuku pernah bilang kalau setiap orang yang meningggal akan menjadi bintang, dan bertahun-tahun
aku terus percaya akan hal itu. Karena perkataan Ibuku itu, setiap malam aku selalu
melihat ke atas langit melalui jendela kamar, lalu berasumsi bahwa bintang yang
paling besar dan terang adalah Ayahku. Dan setelah Ibuku meninggal dua tahun
lepas, hampir tidak satu malam pun aku absen ke bukit ini, agar bisa berjumpa
dengan kedua orang tuaku.”
Kosasih masih diam, membiarkan Nanti melepaskan semua kenangannya.
“Ya, aku tahu apa yang kau fikirkan. Tak seperti di desa dulu, di bawah
sana, hirup pikuk kota membuat langit tampak muram pada malam hari. Tak ada
bintang yang terlihat, aku tidak bisa menemui Ayah dan Ibuku lagi. Tampak
berbeda jika dari atas bukit ini, bintang-bintang terlihat dengan jelas.” Air
mata mulai menetes dari pelupuk matanya. “Aku sangat menyayangi mereka, mereka
bintang sesungguhnya di hidupku.”
Sekali lagi Nanti menoleh ke samping, melihat pacarnya, seketika tersenyum
seperti mengingat sesuatu. “Sekarang kau tahu kenapa aku mengajakmu ke sini,
bukan? Kau adalah orang yang sangat aku sayangi setelah kedua orang tuaku, sekarang
kau harus bertemu dengan mereka di atas sana...”
Tepat setelah mengucapkan kalimat itu, Nanti menghujamkan pisau
dapur yang sedari tadi digenggamnya, tepat mengarah ke ulu hati Kosasih. Kosasih
mengeram, coba berontak. Pisau dapur itu hanya sepantaran 10 cm, butuh sedikit usaha
agar pisau itu menusuk cukup dalam dan bekerja dengan baik. Di detik-detik
terakhir, Kosasih masih sempat berfikir, sejak awal dia tahu apa yang akan dia
hadapi malam ini, tapi tak banyak yang bisa dilakukannya dengan kondisi mulut
tersumpal serta tangan dan kaki yang terikat. Percikan darah yang keluar dari
mulut Kosasih membuat merah pekat kain sumpalan di mulutnya. Kosasih masih
sempat bergerak, erangan terakhirnya seperti disengat listrik ribuan volt
beberapa detik, sebelum nyawanya benar-benar melayang.
“Terimakasih, sekarang aku jadi lebih semangat ke atas bukit ini
setiap malam, bertemu tiga orang yang sangat aku sayangi. Melihat dan bertemu
bintang sesungguhnya dihidupku”, Nanti beranjak pergi, meninggalkan Kosasih
yang terbujur kaku dengan pisau dapur yang masih tegak menancap di ulu hatinya.
Ayah, Ibu, kenalkan, ini Kosasih, pacarku.
Besok
malam aku akan kembali ke bukit ini lagi.
Cerita Fiksi kali ini tentang... kisah yang sedikit horror (kalau memang bisa dibilang begitu). Sudah sejak lama saya selalu punya keinginan yang besar untuk membuat cerita seperti pada cerpen-cerpen tragedi yang pernah saya baca, yang alurnya mengejutkan dan nggk bisa ditebak. Namun, saya lebih tertarik untuk membuat fiksi yang lumayan singkat, to the point, dan langusng masuk ke dalam inti cerita. Sekarang, apakah fiksi saya ini cukup mengejutkan? Saya akan sangat senang bila ada yang mau memberikan sedikti komentar, kritik ataupun saran. :)