"Pak,
aku tidak ingin menjadi aparat.”
“Bukankah sudah Bapak
bilang, kau itu harus jadi anak yang membanggakan!”
“Apakah membanggakan
Bapak harus dengan menjadi aparat? Bukankah dengan uang yang Bapak miliki saat
ini Bapak bisa menyekolahkanku di kampus terbaik? Lalu aku akan lulus dengan
predikat bagus, melamar kerja di perusahaan ternama, bergaji tinggi, dan apakah
itu tidak cukup membanggakan Bapak?”
Pagi itu, pembicaraanku
dengan Bapak berakhir setelah telapak tangan Bapak yang kasar mendarat telak di
pipi kiriku.
Saat ini umurku sudah
17 tahun, dan kurang dari sebulan lagi sebelum Ujian Nasional—yang berarti
pula, aku juga harus memilih pijakan masa depanku selanjutnya.
Sudah setahun belakangan
Bapak selalu menginginkanku untuk ikut tes penerimaan di akademi negeri setelah
tamat SMA nanti. Bapak selalu ingin anaknya melanjutkan sekolah di akademi
dengan grade terbaik, yang
lulusannya langsung mendapatkan pangkat yang tinggi, dan di tempatkan di posisi
strategis aparatur negara.
Abangku sudah tiga kali
berusaha mengabulkan ambisi Bapak. Tiga kali pula Abang gagal tes penerimaan. Ratusan
juta uang Bapak habis untuk Abang. Salah satu aparat berseragam kenalan Bapak yang ikut “mengantarkan” Abang
pernah bilang ke Bapak, “Masih kurang Pak Frans, calon-calon lain banyak yang
kasih lebih ke atas.”
Waktu itu, aku yang
mengintip dari balik tirai pembatas ruang tamu dapat dengan jelas melihat wajah
lesu Bapak. Ada Abang juga di sana yang terlihat kecewa. Tak berapa lama aparat
berseragam itu permisi pergi. Itu adalah kesempatan terakhir Abang, umur abang
sudah tidak cukup untuk ikut tes penerimaan tahun depan lagi.
Saat ini Abang sudah
kuliah di kampus swasta, di fakultas hukum, “Setidaknya, nanti kau bisa jadi
hakim atau jaksa” kata Bapak waktu itu.
Setelah Abang gagal,
tak khayal akulah yang menjadi harapannya. Ya, anak Bapak hanya Abang dan aku
saja. Bapak pernah bilang kalau tahun ini dia akan menyiapkan satu miliar untuk
persiapan aku ikut tes penerimaan akademi. Satu miliar? Aku tak habis pikir
dengan ambisi Bapak. Sudah ratusan juta uang Bapak habis begitu saja untuk
Abang, dan tahun ini, Bapak menyiapkan satu miliar untukku.
***
Aku bukanlah anak yang
terlalu tertarik dengan segala hal yang berbau dengan aparat. Aku tak pernah
bercita-cita menjadi orang yang menggunakan seragam ketat, dengan lencana, dan
segala macam pangkat yang bertengger di kanan dan kiri bahuku. Sama sekali
tidak tertarik.
Aku lebih tertarik
berkarir di perusahaan swasta, bersetelan rapi dengan dasi dan jas, bekerja di balik
meja di dalam gedung puluhan lantai di Ibu Kota. Aku ingin bekerja di
perusahaan terbaik, ternama, dengan gaji yang cukup mentereng—aku tidak mau ada
senjata api jenis apa pun di saku celanaku.
Sampai sekarang, aku
tak tahu dengan pasti apa yang membuat Bapak bangga kalau anaknya menjadi
aparat. Setahuku, tak ada darah militer dalam diri Bapak. Bapak besar dari
kalangan pengusaha. Hingga sekarang, Bapak masih merupakan pengusaha tambang
pasir yang cukup sukses. Beberapa tempat galian pasir dan alat-alat berat itu,
semua milik Bapak. Setiap hari, truk-truk pengangkut pasir milik Bapak keluar
masuk di tempat penambangan. Begu raksasa (yang juga milik Bapak) tak pernah
henti menyuapkan pasirnya ke dalam truk, seakan truk-truk itu selalu lapar. Truk-truk
itu pula yang akan membawa pasir kepada pembeli yang mayoritas sudah lama langganan
dengan Bapak. Sampai saat ini, Bapak punya belasan tambang pasir di
provinsi—yang aku sendiri tak tahu di mana saja letaknya. Sebagian keuntungan
dari tambang pasir itu Bapak sisihkan untuk modal usaha lainnya yang menurut
Bapak punya prospek bagus, sebagian lagi Bapak tabung di bank swasta, ada pula
yang didepositokan oleh Bapak.
Lalu, buat apa
memaksaku ikut tes penerimaan akademi itu? Bapak bisa menyekolahkanku di kampus
terbaik, bahkan, dengan uang Bapak, aku bisa melanjutkan sekolah di kampus
ternama di luar negeri. Aku bisa bekerja di perusahaan ternama, dengan dasi dan
jas sesuai impianku.
Apakah semua ini karena
soal jaminan masa depan? Kalau soal itu, bisa saja benar. Belakangan ini,
beberapa tambang pasir milik Bapak satu persatu di tutup paksa. Beberapa kali
pula kulihat Bapak terlibat pembicaraan serius dengan beberapa pria berseragam
dan seorang lawyer yang sudah lama ikut
bersama Bapak di ruang kerjanya. Jangan
heran, sudah menjadi kebiasaan melihat beberapa aparat berseragam keluar masuk
rumah ini setiap bulannya. Terkadang, aparat-aparat itu dijamu oleh Bapak di
ruang tamu, terkadang di ruang kerja Bapak.
“Setoran dari Pak Frans
bulan ini belum turun sampai sekarang, kami nggak bisa bantu banyak kalau ada
warga turun bawa beking lain, apalagi
beking-nya bisa di bilang komandan
sendiri, ya angkat tangan saya” Kata salah seorang pria berseragam di ruang
kerja Bapak suatu waktu.
Selain beberapa tambang
pasir yang sudah gulung tikar, kulihat pula ada beberapa usaha kecil Bapak yang
juga sudah dijual. Mungkin usaha Bapak mulai surut. Tak ada yang bisa menjamin
sebuah usaha apakah bisa terus maju dan berkembang. Bisa saja, kalau terus
seperti ini, besok lusa usaha Bapak bangkrut semua. Tebakanku, hal ini lah yang
selalu Bapak pertimbangkan. Dengan menjadikanku sebagai aparatur negara,
berarti aku akan dibiayain oleh negara, memiliki jaminan di masa tua, dan
dengan segala tunjangan lainnya tanpa perlu memikirkan kata bangkrut. Tapi,
tetap saja, itu hanya tebakanku. Di luar itu semua, aku tak tahu ada ambisi apa
lagi yang ingin digapai oleh Bapak. Aku hanya tak ingin telapak tangan Bapak
yang kasar itu kembali mendarat di pipiku.
"Beberapa tambang pasir ilegal ditutup paksa oleh warga.", "Pengusaha tambang pasir menyuap aparat", "Beberapa tambang pasir di wilayah x tidak memilki izin usaha" dll merupakan isi berita yang sering kita lihat di media-media saat ini. Pengusaha, aparat, saling membantu satu sama lain. Sedangkan banjir dan longsor merupakan bencana yang bisa dimaklumin oleh semua pihak. Biasa. Banjir musiman, katanya.
Ide untuk tulisan ini melintas begitu saja setelah saya membaca sebuah berita tentang pengusaha tambang pasir ilegal yang menyuap aparat untuk bisa terus beroperasi. Ambisi Bapak, sesungguhnya memuat hal-hal yang menganggu di kepala saya, namun tidak bisa saya katakan dengan frontal. Ambisi Bapak, sesungguhnya berbicara tentang "Ambisi". Hanya itu.
19 Comments
ortu punya pertimbangan jauh kedepan karena pengalaman hidupnya...
BalasHapusTepat sekali.
Hapusaku paham bebanmu menjadi satu-satunya harapan orang tua...
BalasHapuspapamu galak yah. serem.
tenang, karangan fiksi doang kok ^_^
HapusOh, kirain beneran :D
Hapusnanti kalo udah jadi ayah jangan galak-galak yah...
kasian anaknya nggak ada yang berani ngapelin ke rumah...
*lhoo curhat... -_-
harus galak lah, kalo mau ngapel adepin dulu bapaknya hahaha
HapusYa ampun... kirain beneran... ceritanya mengalir kayak curhat aja gitu, tapi setuju banget kalo "aku" disitu menolak buat jadi aparat apalagi aparat "titipan"...
BalasHapushehehe, dapet juga "isi" fiksinya :D
Hapusfigur ayah emang keras, mau di fiksi ataupun nonfiksi :)
BalasHapusbiasanya sosok ayah itu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, tanpa peduli apakah yang dipaksakannya dapat diterima oleh anaknya atau tidak..
fiksi yang ini sedikit "membelokkan" figur ayah..
Hapusmencoba sesuatu yang baru :))
Gue kira beneran. EH, rupanya cuman Fiksi. Tapi, ini ngambil karakter Ayahnya yang keras, ya? Soalnya gak semua sifat Ayah pake bahasa yang kasar gitu. Apalagi ringan tangan.
BalasHapusBut, overall nice.
iya sih, karena bikinnya fiksi, jd pengennya ya kalau keras sekalian keras aja
Hapushehe thanks bro :)
Karena orang tua mau anaknya memiliki kehidupan yang layak untuk kedapan nanti, tapi sifat keras pada orang tua kadang suka kesal sendiri karena anak juga perlu menentukan pilihannya sendiri. :)
BalasHapushmmm agaknya kurang dapet isi fiksi ini deh hahaha :')
Hapusmenjadi bapak memang harus keras.. keras dalam arti ketegasan yg harus ia miliki untuk mendidik anaknya.
BalasHapuskalo sudah sampe main tangan mungkin ada 2 faktor.. bapaknya yang ringan tangan atau anaknya udah kebangetan.. :D
dan silahkan nilai sendiri hahahah :D
Hapuspilihan ortu sebenarnya adalah pilihan yang terbaik masbro, dan saat ini gue juga merasakan hal seperti cerita diatas. bokap igin gue menjadi seorang perwira sedangkan kalau boleh jujur gue pengennya kerjanya santai dan uangnya terus ngalir, seperti pengusaha muda :)
BalasHapuskan jadi kebawa, kirain beneran gan soalnya ane pernah ngerasain mirip fiksi diatas tuh, Bapak ane pengen banget anaknya jadi aparat, ampe nyiapin duit >.<. Alhamdulillah mama ane sangat bertolak belakang, pemikiran mama ane sudah gak kaku kayak bapak ane, mama dukung ane kuliah di jurusan IT. Dan Alhamdulillah saat ini gak kalah kok sama temen-teman ane yang jadi aparat atau lulusan kedinasan. Kalau menurut ane sih, ikutin kata hati, cari passion, bakat menulis jadilah penulis atau jurnalis, bakat menyanyi jadilah penyanyi, bakat memainkan music jadilah pemusik, bakat balapan jadilah pembalap. Udah banyak kan contoh orang sukses yang menekuni dunia nya sesuai dengan passionnya. Banyak jalan menuju sukses.
BalasHapusTapi ya, dari cara penulisan dan pendalaman karakter nih kayaknya ini kisah nyata penulis nih bukan fiksi wakakakakaka ya kan ya kan?
Sangat menyentuh tulisannya. Cuma di bagian ending seperti mengingatkan film di sebuah stasiun televisi swasta. Ya, kan? Ya, kan?
BalasHapusJika ada waktu luang, silakan mampir ke blog kami: ANEKA CARA BLOG . Terima kasih.
Sila tinggalkan komentarnya.